Thursday, August 23, 2012

"Perempuan Baik untuk Laki-Laki Baik"?


Beberapa waktu yang lalu, saya ke salon, dan setiap kali saya pergi ke salon, saya selalu berusaha menyengaja ke salon bukan pada hari libur, sebab kalau hari libur pasti menjadi sangat ramai dan banyak anak-anak smp yang masih labil.  Karena bukan hari libur, sudah bisa dipastikan bahwa pasti kebanyakan pengunjung salon tersebut adalah ibu-ibu rumah tangga yang sedang ditinggal anaknya sekolah dan suaminya bekerja. Seperti gambaran umum ibu-ibu rumah tangga yang sering disebutkan, mereka juga semacam suka menggosip. Jadilah saya setiap kali pergi salon itu bisa mendapat sekian gosip.

Namun, sebenarnya tidak Cuma gossip yang saya dapat kok. Malah seringkali, yang saya dapat adalah pelajaran-pelajaran baru mengenai kehidupan. Memang, terkadang mereka menggosip, tapi selama ada saya, itu sebenarnya jarang loh.

Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, banyak pelajaran yang saya dapat. Misalnya saja, seperti yang saya dapat beberapa waktu yang lalu.


Dari pembicaraan para ibu-ibu tersebut, saya mendapat suatu kebenaran dari sebuah pernyataan, “perempuan baik-baik hanya untuk lelaki baik-baik”. Kalau boleh saya berbagi, jadi saat itu saya mendengar tentang kehidupan beberapa ibu-ibu di situ. Keadaan mereka berbeda-beda. Ada yang kehidupannya bahagia-bahagia saja bersama anak dan sumainya. Ada yang kehidupannya masih tetap bahagia bersama anak-anaknya meskipun sudah ditinggal suaminya yang baik meninggal. Ada juga yang berubah menjadi hidup bahagia bersama anak-anaknya setelah berpisah dengan suaminya.

Dari semua yang saya dengar itu, kebanyakan dari para ibu yang memiliki kehidupan bahagia karena mendapat seorang suami yang baik dan bertanggungjawab, itu juga karena ibu tersebut, dahulu maupun sekarang merupakan seorang perempuan yang baik-baik dan bertanggungjawab juga. Namun, saya juga mendapatkan kisah tentang seorang ibu rumah tangga, yang memiliki banyak anak, tetapi anak-anaknya tidak bisa melanjutkan sekolahnya dan sudah terlanjur tidak mau sekolah lagi, karena mereka sudah merasa nyaman dengan penghasilannya sebagai pengamen untuk membantu biaya hidup ibunya. Setidaknya, tidak membiarkan ibunya menggantungkan dana dari ayahnya yang ternyata suka menggunakan penghasilannya sendiri dan terkadang menggunakan uang istri ataupun anaknya untuk bemain judi dan membiayai kehidupan wanita lain yang menjadi selilngkuhannya. Saat mendengar kisah ibu tersebut dari mulut ibu itu sendiri dengan kemarahannya (saya pikir sejak awal cara bicaranya setiap membiacarakan suaminya, terlihat seperti seorang yang memendam suatu kemarahan), saya sempat berpikir dan bertanya, “mengapa ibu ini tidak berpisah saja dari lelaki itu. Sudah jelas bahwa suaminya tidak lagi bertanggungjawab pada keluarganya. Sudah jelas juga suaminya hanya menyusahkan kehidupannya dan kehidupan anaknya. Dan sudah jelas juga bahwa suaminya lebih senang dengan wanita yang lain. Dan ibu itu mengetahui itu semua”. Lalu, ibu-ibu yang lain pun ternyata ada juga yang kemudian menanyakan hal tersebut pada wanita yang saat itu juga membawa seorang bayi (ini juga membuat pertanyaan baru di kepala saya, mengapa ibu itu mau punya anak lagi kalau kehidupannya bersama ‘suaminya’ seperti itu, padahal anaknya ibu tersebut sudah lebih dari lima). Selain pertanyaan-pertanyaan yang terkesan seperti penghakiman bagi ibu tersebut, saya juga merasa cukup iba karena ibu tersebut harus mendapatkan seorang suami yang seperti itu dalam kehidupannya. Lantas, semacam perasaan iba saya itu terbang sebagian begitu saja, setelah mendengar bahwa, ibu tersebut juga membalas perlakuan suaminya, dengan berselingkuh juga. Entah saya harus merasa bagaimana saat itu, saya senang mendengar seorang wanita yang tidak lemah dan tidak hanya menangisi dan meratapi kehidupannya yang tidak beruntung, tapi saya juga tidak setuju dengan perbuatan ibu tersebut yang membalas kesalahan suaminya dengan kesalahan yang serupa. Saya lebih bersimpatik apabila ibu tersebut memutuskan untuk berpisah saja dengan suaminya tersebut apabila memang tidak ada jalan baik yang lainnya.

Namun, semacam menjawab semua pemikiran yang ada di kepala saya. Tiba-tiba entah bagaimana ibu tersebut juga sempat bercerita mengenai kehidupannya masa lalu. Yang ternyata, membuat saya ingat pada kalimat yang sering saya dengar, yang sudah saya sampaikan sebelumnya, “perempuan baik-baik hanya untuk lelaki baik-baik”. Jadi, ternyata dahulu, ibu tersebut mengaku bahwa dirinya adalah seorang perempuan yang tidak bisa dikatakan sebagai perempuan baik-baik. Entah karena kondisi lingkungan atau apapun itu. Semasa hidupnya dulu, ibu tersebut merupakan seorang perempuan yang bisa dikatakan “nakal”. Beliau mengaku, kalau beliau bukan perempuan baik-baik. Namun,  biar begitu, kini beliau bertanggungjawab sebagai seorang ibu, begitulah pernyataan beliau.

Kisah tersebut semacam membuka mata saya dan memberi suatu pelajaran baru bagi diri saya dan mungkin bisa saya bagi kepada para perempuan lain, bahwa apabila kita ingin mendapatkan sesuatu yang baik, maka mulailah dari diri kita sendiri, jadikanlah diri kita baik, sebab menurut apa yang ada di kepala saya, apapun nanti yang kita dapat itu akan sesuai dengan apa yang berasal dari diri kita sendiri. Jadi, jadilah seorang perempuan baik-baik jika kamu ingin Tuhan memberikan lelaki yang baik juga untukmu, begitu juga bagi para lelaki, jadilah lelaki yang baik-baik dan bertanggung jawab jika kamu menginginkan Tuhanmu memberikan perempuan yang baik-baik juga untukmu. Tapi, saya pikir, hal ini tidak hanya menyangkut tentang lelaki perempuan, apapun segalanya yang ada pada kehidupan kita kini dan nanti itu juga bergantung pada seperti apa dan apa yang kita lakukan saat ini nanti dan dahulu.

Jadi, jika ingin mendapatkan hal yang baik, jadikanlah diri kita baik juga J

Semarang, 23 Agustus 2012
_rida

No comments:

Post a Comment