Beberapa
waktu yang lalu, saya ke salon, dan setiap kali saya pergi ke salon, saya
selalu berusaha menyengaja ke salon bukan pada hari libur, sebab kalau
hari libur pasti menjadi sangat ramai dan banyak anak-anak smp yang masih
labil. Karena bukan hari libur, sudah
bisa dipastikan bahwa pasti kebanyakan pengunjung salon tersebut adalah ibu-ibu
rumah tangga yang sedang ditinggal anaknya sekolah dan suaminya bekerja. Seperti
gambaran umum ibu-ibu rumah tangga yang sering disebutkan, mereka juga semacam
suka menggosip. Jadilah saya setiap kali pergi salon itu bisa mendapat sekian gosip.
Namun,
sebenarnya tidak Cuma gossip yang saya dapat kok. Malah seringkali, yang saya
dapat adalah pelajaran-pelajaran baru mengenai kehidupan. Memang, terkadang
mereka menggosip, tapi selama ada saya, itu sebenarnya jarang loh.
Seperti
yang sudah saya sampaikan sebelumnya, banyak pelajaran yang saya dapat. Misalnya
saja, seperti yang saya dapat beberapa waktu yang lalu.
Dari
pembicaraan para ibu-ibu tersebut, saya mendapat suatu kebenaran dari sebuah
pernyataan, “perempuan baik-baik hanya untuk lelaki baik-baik”. Kalau boleh saya
berbagi, jadi saat itu saya mendengar tentang kehidupan beberapa ibu-ibu di
situ. Keadaan mereka berbeda-beda. Ada yang kehidupannya bahagia-bahagia saja bersama
anak dan sumainya. Ada yang kehidupannya masih tetap bahagia bersama
anak-anaknya meskipun sudah ditinggal suaminya yang baik meninggal. Ada juga
yang berubah menjadi hidup bahagia bersama anak-anaknya setelah berpisah dengan
suaminya.
Dari
semua yang saya dengar itu, kebanyakan dari para ibu yang memiliki kehidupan
bahagia karena mendapat seorang suami yang baik dan bertanggungjawab, itu juga
karena ibu tersebut, dahulu maupun sekarang merupakan seorang perempuan yang
baik-baik dan bertanggungjawab juga. Namun, saya juga mendapatkan kisah tentang
seorang ibu rumah tangga, yang memiliki banyak anak, tetapi anak-anaknya tidak
bisa melanjutkan sekolahnya dan sudah terlanjur tidak mau sekolah lagi, karena
mereka sudah merasa nyaman dengan penghasilannya sebagai pengamen untuk
membantu biaya hidup ibunya. Setidaknya, tidak membiarkan ibunya menggantungkan
dana dari ayahnya yang ternyata suka menggunakan penghasilannya sendiri dan
terkadang menggunakan uang istri ataupun anaknya untuk bemain judi dan
membiayai kehidupan wanita lain yang menjadi selilngkuhannya. Saat mendengar
kisah ibu tersebut dari mulut ibu itu sendiri dengan kemarahannya (saya pikir
sejak awal cara bicaranya setiap membiacarakan suaminya, terlihat seperti
seorang yang memendam suatu kemarahan), saya sempat berpikir dan bertanya, “mengapa
ibu ini tidak berpisah saja dari lelaki itu. Sudah jelas bahwa suaminya tidak
lagi bertanggungjawab pada keluarganya. Sudah jelas juga suaminya hanya
menyusahkan kehidupannya dan kehidupan anaknya. Dan sudah jelas juga bahwa
suaminya lebih senang dengan wanita yang lain. Dan ibu itu mengetahui itu semua”.
Lalu, ibu-ibu yang lain pun ternyata ada juga yang kemudian menanyakan hal
tersebut pada wanita yang saat itu juga membawa seorang bayi (ini juga membuat
pertanyaan baru di kepala saya, mengapa ibu itu mau punya anak lagi kalau
kehidupannya bersama ‘suaminya’ seperti itu, padahal anaknya ibu tersebut sudah
lebih dari lima). Selain pertanyaan-pertanyaan yang terkesan seperti
penghakiman bagi ibu tersebut, saya juga merasa cukup iba karena ibu tersebut
harus mendapatkan seorang suami yang seperti itu dalam kehidupannya. Lantas,
semacam perasaan iba saya itu terbang sebagian begitu saja, setelah mendengar
bahwa, ibu tersebut juga membalas perlakuan suaminya, dengan berselingkuh juga.
Entah saya harus merasa bagaimana saat itu, saya senang mendengar seorang
wanita yang tidak lemah dan tidak hanya menangisi dan meratapi kehidupannya
yang tidak beruntung, tapi saya juga tidak setuju dengan perbuatan ibu tersebut
yang membalas kesalahan suaminya dengan kesalahan yang serupa. Saya lebih
bersimpatik apabila ibu tersebut memutuskan untuk berpisah saja dengan suaminya
tersebut apabila memang tidak ada jalan baik yang lainnya.
Namun,
semacam menjawab semua pemikiran yang ada di kepala saya. Tiba-tiba entah
bagaimana ibu tersebut juga sempat bercerita mengenai kehidupannya masa lalu. Yang
ternyata, membuat saya ingat pada kalimat yang sering saya dengar, yang sudah
saya sampaikan sebelumnya, “perempuan baik-baik hanya untuk lelaki baik-baik”.
Jadi, ternyata dahulu, ibu tersebut mengaku bahwa dirinya adalah seorang
perempuan yang tidak bisa dikatakan sebagai perempuan baik-baik. Entah karena
kondisi lingkungan atau apapun itu. Semasa hidupnya dulu, ibu tersebut merupakan seorang perempuan yang bisa dikatakan “nakal”. Beliau mengaku, kalau beliau bukan
perempuan baik-baik. Namun, biar begitu,
kini beliau bertanggungjawab sebagai seorang ibu, begitulah pernyataan beliau.
Kisah
tersebut semacam membuka mata saya dan memberi suatu pelajaran baru bagi diri
saya dan mungkin bisa saya bagi kepada para perempuan lain, bahwa apabila kita
ingin mendapatkan sesuatu yang baik, maka mulailah dari diri kita sendiri,
jadikanlah diri kita baik, sebab menurut apa yang ada di kepala saya, apapun
nanti yang kita dapat itu akan sesuai dengan apa yang berasal dari diri kita
sendiri. Jadi, jadilah seorang perempuan baik-baik jika kamu ingin Tuhan
memberikan lelaki yang baik juga untukmu, begitu juga bagi para lelaki, jadilah
lelaki yang baik-baik dan bertanggung jawab jika kamu menginginkan Tuhanmu
memberikan perempuan yang baik-baik juga untukmu. Tapi, saya pikir, hal ini
tidak hanya menyangkut tentang lelaki perempuan, apapun segalanya yang ada pada
kehidupan kita kini dan nanti itu juga bergantung pada seperti apa dan apa yang
kita lakukan saat ini nanti dan dahulu.
Jadi, jika ingin mendapatkan hal yang baik, jadikanlah diri kita baik juga J
Semarang,
23 Agustus 2012
_rida
No comments:
Post a Comment